Setiap tanggal 10 November, rakyat Indonesia selalu memperingatinya sebagai Hari Pahlawan, hari dimana terjadi peristiwa besar tahun 1945 lalu di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pada 10 November 1945 terjadi pertempuran hebat antara arek-arek Suroboyo dengan pasukan Inggris yang diboncengi Belanda. Setidaknya 6.000 hingga 16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil terpaksa mengungsi dari Surabaya. Sementara, korban dari pasukan asing sekitar 600 hingga 2.000 tentara. Banyaknya pejuang Indonesia yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November tersebut, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan oleh Presiden Soekarno, sekitar tahun 1950-an hingga sekarang. Tanggal tersebut diusulkan Sumarsono, mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang ikut dalam perang itu. Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak pejuang Indonesia, tentara Inggris dan pasukan Belanda. Pertempuran tersebut merupakan perang pertama tentara Indonesia dengan pasukan asing, setelah Proklamasi Kemerdekaan. Juga salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Setelah para penjajah tersebut pergi dari bumi pertiwi, para pahlawan kemudian mewariskan nilai-nilai perjuangannya kepada generasi selanjutnya, agar dapat mengisi kemerdekaan, untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Di era kemerdekaan, peringatan hari pahlawan setiap tahunnya, seharusnya dapat dijadikan momentum, guna terus melestarikan dan mendayagunakan sikap dan prilaku para pahlawan itu. Seperti rela berkorban, pantang menyerah, percaya pada kemampuan diri sendiri, tanpa pamrih dengan dilandasi kesetiakawanan sosial yang tinggi. Namun saat ini, dalam memaknai hari pahlawan, pemerintah justru lebih mengedepankan unsur seremonial belaka. Hanya melakukan upacara mengheningkan cipta, dilanjutkan tabur bunga, dan berziarah di kuburan mereka yang telah gugur. Selanjutnya kembali lupa, tanpa peduli untuk menghayati nilai-nilai perjuangan yang dipesankan oleh para pahlawan itu. Ironis, ternyata nilai-nilai perjuangan dan suri tauladan para pahlawan itu, tidak mampu diaplikasikan pemerintah dalam kehidupan bernegara. Contoh kecil, dahulu gelar pahlawan diberikan kepada seorang figur yang secara historis ikut berjuang dalam membantu mencapai kemerdekaan Indonesia. Kini, seiring bergantinya kepemimpinan negeri, tolok ukur kepahlawanan mulai tidak menengok dari sisi sejarah, tapi terang-terangan tergantung dari kepentingan rezim penguasa. Gelar pahlawan semestinya diukur dari jasa, pengabdian serta pengorbanannya dalam rangka melayani rakyat dan bangsanya, bukan melayani penguasa. Mantan Presiden AS John F Kennedy punya pernyataan terkenal "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawan". Namun, sebagai bangsa yang mengaku besar, Indonesia justru melupakan dan membiarkan sebagian para pejuang kemerdekaan dan keluarganya yang masih ada, hidup dalam keprihatinan dan belum merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Bayangkan! Saat hari pahlawan, Pemerintah Indonesia justru menganugerahi Mantan PM Jepang, Yasuo Fukuda, sebuah Bintang Mahaputera Adipradana atas jasanya, yang notabene berasal dari negara yang pernah menjajah negeri ini. Sementara, seorang veteran perang 10 November masih harus berjuang lagi dan memohon-mohon pada Presiden SBY untuk minta dirinya dibantu. Hal itu lantaran uang pensiun yang tak cukup dan dirinya sudah terlalu renta untuk menarik becak, yang menjadi profesinya selama ini. Sumber : Sungguh terlalu! membiarkan pahlawan sejati sengsara, tapi pahlawan "ecek-ecek" disanjung setinggi langit.

Komentar

Postingan Populer